Dompet Dhuafa

Wednesday, July 02, 2008

Nak, Ijinkan Papa-Mama Membangun Pondasi Rumahmu di Sorga

Semenjak anak-anak akan mulai memasuki usia sekolah, kami - saya dan istri – intensive mendiskusikan ke mana anak-anak kami musti disekolahkan.

Lokasi perumahan kami di Tambun-Bekasi - kami sering mencandainya BSD (Bekasi Sonoan Dikit) - cukup menawarkan pilihan-pilihan sekolah bagi anak-anak kami. Ada sekolah yang bernuansa umum maupun agamis. Segala sisinya tentu saja menjadi bahan pertimbangan kami dalam menentukan pilihan-pilihan.

Pilihan kami akhirnya jatuh pada sekolah-sekolah yang kental dengan muatan agama dalam hal ini sesuai dengan agama yang kami yakini kebenarannya adalah Islam. Bukan berarti kami fanatik terhadap agama kami tetapi menurut kami sudah selayaknya seseorang tentunya harus yakin atas kebenaran yang diyakininya, tanpa harus menyalahkan keyakinan orang lain – fanatisme, yang dalam bahasa agama kami adalah “lakum dienukum waliyadien” (bagimu agamamu dan bagiku agamaku).

Bagi kami menanamkan pondasi ilahiah dalam segala aspek kehidupan sebaiknya dimulai sejak dini, karena pada saat-saat itu perekam memori anak-anak sangatlah tajam. Cobalah perhatikan betapa anak-anak kita dengan mudah dan fasihnya meniru segala yang dilihatnya yang ada disekitarnya. Tayangan iklan di televisi yang sering lewat diruang keluarga dengan mudahnya mereka hafal dan tiru tanpa meleset sedikitpun, padahal tidak ada waktu khusus baginya untuk menghafal / mempelajarinya, bagaimana kalau khusus mereka pelajari barangkali akan lebih canggih hasilnya dibandingkan bintang iklan yang membawakannya. Coba pula perhatikan betapa anak-anak kita sangat fasih melantunkan nyanyian band-band anak muda dewasa yang sedang ngetop. Padahal lirik-liriknya sangatlah tidak pas untuk usia anak-anak kita tersebut.

Kami mengartikan bahwa bila pondasi ilahiah ditanamkan sejak dini, basic ilahiah telah mereka rekam pada dasar memori yang paling dalam dan kami berkeyakinan hal ini akan lebih membekali mereka dalam menghadapi kehidupan sebenarnya nantinya pada masyarakat luas dengan berjuta ragamnya.

Maka dari itulah keempat putri-putri kami, kami sekolahkan pada sekolah-sekolah yang nuansa keagamaanya cukup kental. Pada umumnya perbandingan porsi pendidikan umum dan agama adalah 50:50 atau 60:40 atau 70:30.

Anak pertama kami, Mufida Inas Aulia (kini di tahun 2008 sedang duduk di kelas XII) dan kedua, Nida Nur Rahman (kelas X), untuk tingkat pra sekolah dan SD, kami sekolahkan di Yayasan Al-Muslim, Bekasi yang menaungi TK Islam dan SD Islam Almuslim. Kemudian pada jenjang sekolah menengahnya keduanya kami titipkan pada SMP Tashfiya Boarding School, Pondok Gede, sedang pada jenjang lanjutan atasnya kami percayakan pada Pondok Pesantren Modern SAHID, Bogor.

Sedangkan anak ketiga kami Safana Ishlah Madani (kelas IV) kami masukkan di TKIT Mutiara Al-Hilal, Tambun dan SDIT Baitul Halim, Bekasi. Dan terakhir anak keempat kami Kamila Dina Salima (kini Nol Kecil) kami masukkan di TKIT Mutiara Al-Hilal, Tambun.
Kiranya pada jenjang pendidikan tinggi nantinya kami merasa percaya diri untuk melapas mereka bersekolah (kuliah) pada sekolah-sekolah umum.

Pada suatu diskusi kecil di keluarga kami, saya dan istri menangkap “adanya nuansa mempertanyakan” dari anak-anak kami mengapa musti mereka disekolahkan di sekolah-sekolah agama dan bahkan boarding school dan pondok pesantren. Akhirnya kami jelaskan ke mereka sejujurnya, karena selayaknyalah mereka mengetahui dasar pemikiran kami.
“……
  1. Nak… orang tua memiliki anak sebenarnya adalah hanyalah titipan atau amanah yang nantinya akan dimintai pertanggung jawaban dari Sang Pemberi Amanah tentang titipannya itu, diantaranya adalah tentang bagaimana dia mendidik.
  2. Sepanjang yang Papa dan Mama pelajari dalam hidup ini tentang taqwa kepada Allah SWT adalah melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala laranganya dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam menerapkannya pada anak-anak yang diamanahkan.
  3. Nak… sebagai orang tua tentu saja papa dan mama memilihkan yang terbaik dalam arti seluas-luasnya bagi anak-anaknya. Sekolah-sekolah yang Papa Mama pilih kan juga cukup bagus dari banyak aspek, khususnya sisi fasilitas :
  • Tempat belajar yang asri, bersih, dan tata letak yang memadai;
  • Para guru / pembimbing yang umumnya kompeten dan pada bidangnya masing-masing;
  • Perbandingan jumlah guru / pembimbing dengan murid yang seimbang, jumlah murid per kelaspun tidak terlalu banyak, sekitar 25 – 30 anak per kelas, sehingga proses belajar mengajar akan lebih efektif;
  • Dari survey yang Papa Mama lakukan bahwa ternyata perhatian guru / pembimbing pada sekolah-sekolah Islam Terpadu (IT), boarding, maupun Pesantren Modern terhadap murid-muridnya justru lebih banyak bila dibandingkan dengan sekolah-sekolah Negeri;
  • Fasilitas tidur, makan, lingkungan justru lebih bagus dari kondisi di rumah;
  • Pondok pesantren jaman sekarang jauh berbeda dengan jaman dahulu yang terkenal kumuh, gudigen (bahasa jawa, luka-luka kecil diseluruh tubuh karena sanitasi tidak baik);
  • Memiliki pusat kesehatan 24 jam;
  • Memiliki kantin yang bersih dan sehat;
  • Memiliki fasilitas olah raga yang luas;
  • Memiliki fasilitas bahasa, laboratorium yang lengkap;
  • Memiliki pembimbing-pembimbing (murobi) yang bisa diajak diskusi setiap saat.
  • Mensyaratkan selalu menutup aurat, karena sudah terbukti dari jaman dahulu kala bahwa terbukanya aurat dimana-mana adalah biang terjadinya kejahatan laki-laki terhadap perempuan.
Ya memang disitu kegiatan agama selalu disinergikan pada kegiatan apapun, karena pada hakekatnya sesungguhnya Allah SWT selalu melihat segala tindak-tanduk kita, jadi selayaknyalah pada setiap aktifitas apapun ya haruslah bernuansa ilahiah. Jangan harap disana ananda mendapatkan :
  • Bersantai-santai, bermalas-malasan yang mengakibatkan kemunduran ;
  • Hura-hura (diskotik dan sejenisnya) yang melalaikan terhadap Yang Maha Kuasa, yang lebih banyak mudlorotnya dari pada manfaatnya;
  • Pacaran.. pasti tidak boleh karena kecenderungannya juga akan mendekatkan pada hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT karena belum menjadi haknya. Berteman berkawan tetap boleh tapi bukan untuk pacaran.
4. Keimanan Papa dan Mama barangkali tidak setinggi iman masyarakat umum pada umumnya yang telah cukup berani melepas anak-anaknya kedalam tata pergaulan anak-anak muda pada umumnya di sekolah-sekolah umum yang lebih bebas bila kita menggunakan kaca-mata syariat Islam.
Hidup adalah pilihan nak, papa dan mama memilih seperti ini, orang lain memilih hal yang lain, tentunya masing-masing telah mempertimbangkan segala resikonya baik dunia maupun akhirat kelak.

5. Terakhir anakku, tidak ada orang tua yang menginginkan anaknya tidak bahagia apalagi bertujuan menghukum anaknya. Percayalah nak… ini adalah bagian dari Master Plan Papa dan Mama Menghantarkanmu Hidup Selamat di Dunia dan Membangunkan Pondasi Rumahmu di Sorga.…………

Related Articles



No comments:

Post a Comment

Donate for Palestine

MER-C


Article of the Day

The Great Fire of Rome

According to the historian Tacitus, the Great Fire of Rome started in the shops around the Circus Maximus on July 18 in 64 CE and burned for 5 days. In his account, Tacitus writes that the fire completely destroyed 4 and severely damaged 7 of the 14 Roman districts. Both the size and cause of the fire are debated as well as Emperor Nero's response to the crisis. Some claim he sang or played music while the city burned, and many accused Nero of arson. Nero, in turn, blamed what religious group? More... Discuss

This Day in History

US President Franklin D. Roosevelt Forbids Hoarding of Gold (1933)

Executive Order 6102 required US citizens and businesses to turn in all but a small amount of gold to the Federal Reserve in exchange for $20.67 per ounce. It came in the midst of a banking crisis, when the stability of paper currency was in doubt. Consequently, many tried to withdraw their money and redeem it for gold, which was considered safer. However, there simply was not enough gold in the US—or the world—to cover the nation's debts. How many people were prosecuted for violating the order? More... Discuss

Today's Birthday

Ruth Elizabeth "Bette" Davis (1908)

American screen legend and two-time Academy Award-winning actress Bette Davis made her Hollywood debut in 1931 and, after several flops, won acclaim for her role in 1934's Of Human Bondage. Her electrifying performances and intense characterizations of strong women made her a prime box-office attraction between 1935 and 1946, but her popularity declined thereafter. Undeterred, she launched a comeback and continued acting until shortly before her death. Why did she disinherit her daughter? More... Discuss

Match Up
Select word:










Match each word in the left column with its synonym on the right. When finished, click Answer to see the results. Good luck!