Dompet Dhuafa

Tuesday, January 06, 2009

Optimisme di Tengah Kegelisahan

Masih ingat komentar para pakar ekonomi pada pertengahan 1998? ''Indonesia akan bangkrut.'' Kira-kira semacam itulah nadanya. Wajar, karena ekonomi tercabik-cabik, dolar bergerak liar, sembako langka dan mahal, inflasi 75 persen, bunga bank 70 persen, belum lagi dukungan terhadap pemerintah yang tipis.

Betulkah Indonesia bangkrut? Ternyata tidak. Pertumbuhan ekonomi yang minus 13,6 persen pada 1998 sudah kembali positif pada 1999, meski baru 0,62 persen. Kurs rupiah yang pernah menyentuh Rp 16.000 per dolar turun separuhnya menjadi sekitar Rp 8.000.

Bahwa perekonomian masih sulit, utang luar negeri membengkak, jumlah masyarakat miskin bertambah banyak, pengangguran berlipat, betul, tapi perekonomian masih tetap jalan. Setidaknya: tidak bangkrut!

Apa kuncinya? Ada optimisme dari BJ Habibie yang saat itu jadi orang nomor satu di negeri ini bahwa perekonomian akan bangkit. Optimisme itulah yang melandasi kerja keras dalam mengelola ekonomi negara.

Jadi, meskipun begitu sulitnya perekonomian, ditambah situasi politik yang panas dan cenderung menjatuhkan, ekonomi sudah relatif stabil. Landasan untuk tumbuh kembali sudah cukup tertata.

Kini, kita kembali dibayangi krisis. Bedanya kali ini adalah krisis global, dan kita terkena imbasnya. Istilah Sri Mulyani, kita ini adalah 'korban tak bersalah'.

Karena Amerika kolaps, kita sebagai bagian dari globalisasi mau tidak mau terkena. Bahkan, bukan cuma Indonesia, hampir seluruh negara di dunia yang masuk jaringan global terseret dalam pusaran krisis.

Krisis gobal berekses lokal itu terlihat pada 2008 di mana indeks terjungkal 53 persen, rupiah terdepresiasi 25 persen, pertumbuhan orang miskin tidak sesuai target, begitu pula penurunan jumlah pengangguran. Bahkan, pemutusan hubungan kerja (PHK) buruh atau karyawan sudah terjadi, puluhan ribu orang jadi penganggur.

Beruntung harga minyak turun dari 147 dolar pada Juli 2008 silam menjadi 35-40 dolar pada akhir tahun. Kondisi ini membuat inflasi menjadi tertekan. Beberapa harga kebutuhan pokok ada yang menurun, setidaknya tidak melonjak meskipun ada Natal dan Tahun Baru. Jadi, ketika krisis global terjadi, gejolak harga tidak banyak dirasakan masyarakat. Bunga acuan juga turun menjadi 9,25 persen.

Indonesia tidak mengalami krisis separah tetangga kita seperti Malaysia dan Singapura. Penyebabnya, sumbangan ekspor kita terhadap produk domestik bruto (PDB) hanya sekitar 35 persen, sedangkan Malaysia 120 persen, Singapura 200 persen.

Ketika krisis global terjadi, permintaan ekspor menurun, terutama ke Amerika dan Eropa. Jadi, negera yang banyak mengandalkan ekspor, perekonomiannya akan merosot drastis.

Perusahaan di Indonesia yang banyak merasakan krisis ini adalah yang berorientasi ekspor, terutama yang ke Amerika. Pabrik sepatu dan tekstil misalnya, yang banyak mengekspor ke negara adidaya tersebut, mengalami kesulitan luar biasa. Perusahaan semacam inilah yang banyak melakukan PHK terhadap karyawannya.

Perusahaan lain yang kesulitan adalah komoditas perkebunan seperti CPO dan karet karena harga internasional jatuh. Kasus hampir sama pada perusahaan baja.

Melihat kondisi tersebut, maka perekonomian lokal sebetulnya cukup kuat untuk menopang krisis global ini. Ini pula yang sedang dilakukan di beberapa negara, yakni memperkuat ekonomi lokal dengan meledakkan pola konsumsi. Taiwan, misalnya, pemerintahnya membagi kupon setara 100 dolar kepada masyarakatnya untuk dibelanjakan. Inggris memotong PPN untuk meningkatkan daya beli masyarakat.

Sebagai emerging market, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan masih tertinggi di Asia Tenggara, yakni antara 4,5 sampai 5,5 persen. Sementara Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand akan di bawah empat persen.

Barangkali kalau di Asia, Indonesia hanya kalah dengan Cina yang diprediksi masih 8,2 persen, dan India yang 7,3 persen. Korea paling 2,6 persen, Jepang malah negatif.

Bagaimana PDB tumbuh? Struktur pertumbuhan ekonomi kita disokong oleh konsumsi domestik, baik itu privat maupun dari pemerintah. Konsumsi inilah yang menjadi mesin pertumbuhan ekonomi.

Dalam statistik, konsumsi privat ini menyumbang 65 persen PDB, dengan begitu tanpa melakukan apa pun, pertumbuhan sudah 3-3,5 persen. Kemudian, dari fiskal bisa melecut pertumbuhan 1,8 persen. Ibaratnya, pertumbuhan yang sudah di tangan minimal 4,8 persen.

Sebetulnya meski istilahnya sudah di tangan, bukan berarti ringan dan tidak ada prasyarat. Setidaknya menurut hitungan pengamat ekonomi Tony Prasetyantono, dengan asumsi PDB pada 2008 mencapai Rp 5.000 triliun, dibutuhkan dana Rp 1.125 triliun agar pertumbuhan tersebut tercapai. Bank biasanya menyumbang 20-22 persen, sehingga kredit dari perbankan harus mengucur Rp 300 triliun.

Tentu bukan soal mudah memberikan kredit sebesar itu, apalagi di situasi seperti ini bank relatif lebih hati-hati, belum lagi suku bunga yang masih tinggi. Karena itu, semestinya pula Bank Indonesia (BI) segera menurunkan BI Rate agar dunia usaha bisa lebih leluasa bergerak. Apalagi tren di negara lain, suku bunga acuan justru berlomba turun. Amerika bahkan menuju nol persen.

Selain itu, pemerintah harus mempercepat cairnya anggaran 2009 terutama yang terkait dengan pembangunan infrastruktur. Selain infrastruktur yang dibebankan swasta, pemerintah juga perlu memperbanyak dan mempercepatnya. Ini penting untuk penyerapan tenaga kerja.

Pemerintah tahun ini akan menggelontorkan Rp 100 triliun untuk infrastruktur, dan diharapkan bisa menyerap 2,5-3,5 juta tenaga kerja. Hanya ini sifatnya sementara, harus segera ditunjang dengan program yang berkelanjutan.

Untuk itulah sektor bisnis harus segara dipulihkan, terutama mereka yang terkena dampak langsung dari krisis ini. Stimulus sangat dibutuhkan dunia usaha untuk berkembang.

Cina sudah memberi stimulus 100 miliar dolar, Jepang 250 miliar dolar, India 4,5 miliar dolar, Malaysia 2,5 miliar dolar, Indonesia dengan Rp 50 triliun, sudah semestinya menambah lagi entah lewat pajak atau pinjaman khusus untuk rakyat.

Tak ada satu pun negara yang lolos dari krisis global kali ini, hanya derajat imbasan saja yang berbeda. Indonesia termasuk yang terkena derajat imbas rendah.

Jadi, meskipun banyak yang memperkirakan bahwa puncak krisis terjadi pada semester pertama tahun ini, kita tidak perlu takut. Kita hanya perlu mengantisipasi agar imbasannya bisa dilokalisasi.

Di tengah kegelisahan akan terempasnya perekonomian global kita tetap perlu meniupkan optimisme bahwa kita mampu mengatasi. Optimisme ini pula yang menjadi tema sentral outlook perekonomian Republika tahun ini.

Sumber : Anif Punto Utomo


Related Articles



No comments:

Post a Comment

Donate for Palestine

MER-C


Article of the Day

This Day in History

Today's Birthday

Match Up
Match each word in the left column with its synonym on the right. When finished, click Answer to see the results. Good luck!